Ketegangan Thailand–Kamboja Memanas: Akar Konflik Seabad dan Dampaknya bagi ASEAN

Ketegangan bersenjata kembali terjadi antara Thailand dan Kamboja, dua negara bertetangga di Asia Tenggara yang sejak lama terlibat sengketa perbatasan. Dalam beberapa pekan terakhir, serangkaian insiden di sepanjang garis perbatasan mereka telah memicu eskalasi serius, menimbulkan korban jiwa maupun luka di pihak militer dan warga sipil.

Eskalasi Terbaru di Perbatasan

Ketegangan terbaru memuncak setelah terjadi baku tembak di wilayah sengketa pada Mei lalu yang menyebabkan tewasnya seorang tentara Kamboja. Insiden ini memicu reaksi keras dari kedua negara:

  • Thailand menutup akses wilayah perbatasan dan mengusir duta besar Kamboja.

  • Kamboja membalas dengan memutuskan hubungan diplomatik dan menarik duta besarnya dari Bangkok.

Langkah-langkah tambahan seperti pengerahan pasukan tambahan, pemasangan ranjau darat, hingga serangan drone pengintai semakin memperkeruh situasi. Warga sipil yang tinggal dekat perbatasan telah diperintahkan untuk mengungsi.

Selain itu, Kamboja melarang impor produk Thailand seperti buah, sayuran, serta layanan listrik dan internet. Thailand pun membalas dengan pembatasan serupa. Situasi ini mendorong kekhawatiran akan potensi konflik berskala lebih besar di kawasan ASEAN.


Akar Sejarah Sengketa: Warisan Kolonial Prancis

Sengketa Thailand–Kamboja berpusat pada wilayah perbatasan kuil Preah Vihear, sebuah kuil Hindu kuno yang dibangun pada abad ke-11. Perselisihan ini berawal dari masa kolonial:

  1. Peta 1907 – Saat Kamboja berada di bawah penjajahan Prancis, dibuat peta yang menempatkan kuil Preah Vihear di wilayah Kamboja. Namun, batas di sekitarnya, terutama area seluas 4,6 km², tidak jelas.

  2. Kemerdekaan Kamboja (1953) – Thailand menolak keabsahan batas kolonial dan mulai menuntut pengakuan wilayah tersebut.

  3. Pengambilalihan oleh Thailand (1954) – Pasca penarikan pasukan Prancis, Thailand menduduki kuil tersebut, memicu protes keras Kamboja.

Kamboja kemudian membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1959.


Putusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1962, ICJ memutuskan bahwa kuil Preah Vihear secara sah milik Kamboja berdasarkan peta kolonial yang sebelumnya diterima Thailand tanpa protes resmi. Namun, putusan tersebut tidak mencakup area sekitarnya, sehingga celah sengketa tetap ada.

Konflik mereda selama beberapa dekade, meski ketegangan sesekali muncul. Namun, situasi kembali memanas pada 2008, ketika Kamboja berhasil mendaftarkan kuil Preah Vihear sebagai situs warisan dunia UNESCO. Thailand memandang langkah ini sebagai ancaman terhadap klaim kedaulatannya.


Bentrokan 2008–2011

Periode 2008–2011 menjadi salah satu fase paling berdarah dalam sejarah sengketa ini. Bentrokan militer terjadi berulang kali, menewaskan tentara dan warga sipil dari kedua belah pihak. Ribuan orang terpaksa mengungsi dari perbatasan.

PBB dan ASEAN beberapa kali turun tangan untuk menengahi, namun hasilnya hanya sebatas gencatan senjata sementara. Pada 2011, ICJ memerintahkan zona demiliterisasi di sekitar kuil, tetapi kedua negara saling menuduh melanggar kesepakatan tersebut.


Keputusan Tambahan 2013

Pada November 2013, ICJ kembali mengeluarkan keputusan yang memperjelas status wilayah sekitar kuil. Pengadilan menyatakan bahwa tangga akses utama dan sebagian besar zona sengketa adalah bagian dari Kamboja, meskipun secara topografi berada di wilayah Thailand. Putusan ini diterima Thailand dengan enggan dan memicu gelombang nasionalisme baru di dalam negeri.


Implikasi Terhadap ASEAN

Konflik Thailand–Kamboja bukan sekadar persoalan bilateral. Ketegangan ini berpotensi mempengaruhi stabilitas ASEAN yang selama ini dikenal sebagai kawasan relatif damai. Beberapa implikasi pentingnya antara lain:

  • Keamanan perbatasan: Jalur perdagangan darat antara Thailand dan Kamboja terganggu, memengaruhi logistik regional.

  • Ekonomi: Larangan impor dan ekspor memukul petani dan pedagang kecil di kedua negara.

  • Politik ASEAN: Konflik menguji mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN yang cenderung berbasis konsensus dan non-intervensi.

  • Keterlibatan pihak ketiga: Negara besar seperti Tiongkok dan AS mungkin memanfaatkan ketegangan ini untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara.


Apakah Akan Ada Penyelesaian?

Sejarah panjang sengketa ini menunjukkan bahwa solusi permanen sulit dicapai. Kedua negara sama-sama memiliki dasar klaim historis dan nasionalisme yang kuat. Meski jalur diplomasi melalui ASEAN dan PBB terbuka, konflik bisa kembali memanas sewaktu-waktu, terutama bila ada faktor pemicu baru seperti perebutan sumber daya atau ketidakstabilan politik domestik.


Kesimpulan

Konflik Thailand–Kamboja di sekitar kuil Preah Vihear adalah contoh klasik sengketa warisan kolonial yang belum terselesaikan. Meski keputusan hukum internasional telah dikeluarkan, sentimen nasionalisme dan ketidakjelasan batas tetap menjadi sumber api yang mudah tersulut. Bagi ASEAN, menjaga perdamaian di kawasan ini menjadi ujian penting bagi integrasi regional di tengah dinamika geopolitik global.

Leave a Reply