Abad ke-15 hingga ke-17 dikenal sebagai masa penjelajahan besar bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Spanyol, Belanda, hingga Inggris berlayar ke berbagai belahan dunia untuk mencari rempah-rempah, emas, dan jalur perdagangan baru. Namun, di balik kisah pelayaran dan penaklukan itu, ada satu aspek yang jarang dibahas: bagaimana mereka berkomunikasi dengan penduduk lokal tanpa bahasa yang sama?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis. Cara bangsa Eropa menguasai bahasa lokal ternyata menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan, memecah belah, bahkan menguasai narasi sejarah di wilayah jajahan mereka.
Penerjemah: Dari Korban Penculikan Jadi Penentu Sejarah
Dalam banyak ekspedisi Eropa, penerjemah menjadi kunci utama. Namun proses “mencetak” penerjemah kadang kejam: penduduk lokal diculik, dipaksa mempelajari bahasa Eropa, lalu dijadikan jembatan komunikasi dengan bangsanya sendiri.
Salah satu kisah paling terkenal terjadi di Amerika Selatan. Seorang pemuda dari wilayah Inka diculik dan diajari bahasa Spanyol. Ia lalu dijadikan penerjemah resmi saat bangsa Spanyol bernegosiasi dengan Kerajaan Inka. Namun, karena menyimpan dendam pribadi terhadap Raja Inka, ia sengaja memberikan terjemahan yang keliru. Hasilnya fatal: kesalahpahaman itu memicu konflik bersenjata yang berakhir pada runtuhnya Kerajaan Inka.
Kisah ini menunjukkan betapa penerjemah bukan sekadar juru bahasa, tetapi juga bisa menjadi penentu arah sejarah suatu bangsa.
Bahasa Sebagai Alat Kekuasaan
Bagi bangsa Eropa, menguasai bahasa berarti menguasai kekuasaan. Dengan mengendalikan komunikasi, mereka bisa:
-
Mengatur aliran informasi – Memilih pesan apa yang disampaikan kepada penguasa lokal dan apa yang disembunyikan.
-
Menyebarkan kebohongan atau propaganda – Mengadu domba antar suku atau kerajaan.
-
Menciptakan hierarki budaya – Menganggap bahasa mereka lebih “beradab” dibanding bahasa lokal.
Contohnya dapat dilihat di Indonesia. Saat Belanda menjajah Nusantara, mereka membuat sistem pendidikan yang hanya mengajarkan bahasa Belanda kepada kalangan elit pribumi. Hanya segelintir orang yang bisa berkomunikasi langsung dengan pemerintah kolonial. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial dan membuat akses ke kekuasaan sangat terbatas.
Di India, Inggris melakukan hal serupa. Mereka menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa mulia yang membawa “peradaban”, sementara bahasa lokal dianggap primitif. Narasi ini membentuk pola pikir kolonial yang bertahan lama bahkan setelah kemerdekaan.
Bahasa Penghubung: Sebelum dan Sesudah Penjajahan
Perlu dicatat, interaksi antarbangsa sebenarnya sudah ada jauh sebelum Eropa menjajah dunia. Pedagang dari berbagai daerah menggunakan bahasa penghubung (lingua franca) yang terbentuk secara alami. Di Nusantara, misalnya, bahasa Melayu menjadi bahasa perdagangan antar suku dan bangsa.
Namun, penjajahan sering kali mengganti bahasa penghubung ini dengan bahasa mereka sendiri. Akibatnya, bahasa penjajah menjadi dominan dan bahkan bertahan hingga kini, seperti bahasa Spanyol di Amerika Latin atau bahasa Inggris di India dan Nigeria.
Bahasa Campuran: Pidgin dan Kreol
Selain itu, muncul fenomena menarik berupa bahasa campuran. Di wilayah penambangan emas di Amerika Utara, pendatang dari berbagai negara menciptakan bahasa baru gabungan bahasa Inggris, Prancis, dan bahasa penduduk asli. Bahasa ini dikenal sebagai pidgin, yang kemudian bisa berkembang menjadi kreol jika dipakai turun-temurun.
Di Nigeria, misalnya, muncul varian bahasa Inggris yang khas karena bercampur dengan bahasa lokal. Bahasa campuran ini awalnya lahir untuk kebutuhan perdagangan, namun lama-kelamaan menjadi identitas budaya tersendiri.
Dampak Panjang: Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Global
Warisan kolonialisme bahasa terasa hingga hari ini. Karena Inggris dan Amerika Serikat mendominasi perdagangan dan politik global di abad ke-20, bahasa Inggris kini menjadi lingua franca dunia. Dari bisnis internasional, sains, hingga budaya pop, bahasa Inggris seolah menjadi tiket wajib untuk “diakui” dalam skala global.
Namun, dominasi ini juga memunculkan tantangan baru: apakah kita tanpa sadar menempatkan bahasa lokal sebagai “rendahan”, sebagaimana dulu dilakukan penjajah?
Kesimpulan: Siapa yang Menguasai Bahasa, Menguasai Narasi
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah alat kekuasaan. Sejarah membuktikan, bangsa yang menguasai bahasa sering kali menguasai kebenaran, bahkan mampu menulis ulang narasi sejarah. Dari kisah penerjemah Inka yang memicu perang, hingga kebijakan pendidikan kolonial Belanda, kita belajar bahwa penguasaan bahasa dapat menentukan nasib suatu bangsa.
Pertanyaannya kini, di era globalisasi, apakah kita akan membiarkan bahasa lokal punah atau justru mengangkatnya kembali sebagai identitas bangsa?
kanalesia.com | Bringing the knowledge you need